THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

♥☻♥ WELCOME TO ♥☻♥

Selasa, 22 Desember 2015

Singkatnya Jadi Kita (Bag. 2)

"Dan langkahku berhenti. nafasku seakan ingin berhenti pula, aku menangis di dalam diriku, kakiku terasa membeku dan berteriak bahwa ia tak sanggup untuk melangkah. Jantungku yang memastikanku tetap hidup terasa ingin membeku. Angin kencang yang bertiup seakan ingin meniup jiwaku pergi."

...

Hari kedua pun dimulai, aku bangun sekitar pukul 5 pagi, cuaca yang cerah mengawali pagiku ditemani udara segar, rencananya kami akan pergi ke Cibodas dan melihat Curug Cibeureum. Aku berjalan pagi sebentar mengelilingi area villa yang masih sepi seorang diri. Udaranya sangat sejuk. Ketika aku menutup mata mencoba menikmati udara pagi, terdengar suara samar memanggilku, akupun mencoba mengabaikannya, tapi suara itu sepertinya memanggilku lagi.

"Fira..." yap, untungnya itu adalah suara temanku Ule yang memintaku membantu membantu membuat sarapan. Akupun masuk dan memulai masak menu sarapan pagi, sedangkan yang lainnya masih dengan dunianya, Mega yang masih tertidur karena tidak bisa tidur pada malam hari, Asma yang mengghilang untuk berjalan pagi sejenak, adapun Fajri yang memutuskan untuk melanjutkan mimipinya di ruang tamu. Aku membuat nasi goreng dengan bumbu kocak yang sederhana, entah apa rasanya, yang jelas akupun tak bisa menikmati layaknya memakan makanan. Aku senang melihat mereka makan dengan baik, disaat aku tidak bisa menghargai maskanku sendiri.

"Jam 9 kita berangkat ke cibodas yaa" ucap Taul, selesai makan semuanya bergegas untuk menyiapkan perjalanan ke Cibodas. Sekitar jam 9 lewat kami berangkat dengan menyewa Angkutan Umum. Gerimis pun datang menemani perjalanan kami untuk menuju angkutan umun di depan kawasan Villa. Di Angkot, begitu kami menyebutnya, hujan datang seiring perjalanan menuju Cibodas yang katanya dekat itu. Dekat? Iya, Lumayan. Lumayan Jauh. Di Angkot 1 aku bersama Tazkia, Amanah, Tika, Syifa, Keke, Siti, Sofyan, Fachri, dan Ojan. Dan sisanya di angkot 2.
Sesampainya di Cibodas, cuaca lumayan tidak bersahabat. Rombongan 1 dan 2 bersatu kembali untuk bersama memulai perualangan hari ini. 

Gerimis pun datang dan pergi seiring dengan waktu yang berjalan. Masuk ke area Cibodas, kami membayar tiket masuk Rp.3000,- kami berjalan menuju kawasan air terjun, tujuan wisata kami di Puncak. Perjalanan dari Gate Welcome Cibodas menuju loket Air terjun Cibeureum lumayan melelahkan, kami pun sampai. Di Loket Air Terjun Cibereum. Kami dikenakan biaya Rp.18.500,-  untuk melihat air terjun Cibeureum. Dari loket terpampang syarat pendaki, dan menurutku kami benar benar tidak memenuhi syarat. Membawa air minimal 4 Ltr, 1 botolpun aku tak bawa. Jaket, obat obatan, ataupun apalah itu. Akupun tak bawa. Uang, Handphone yang menurutku sangat berartipun aku tak bawa. Yang kubawa hanyalah pakaian alakadarnya yang melekat pada tubuhku, kacamata yang kukenakan dan sepatu yang kukenakan. Jarak yang ditempuh untuk berjalan dari loket ke air terjun sekitar 2,8 KM. Bayanganku tempat menuju air terjun hanyalah jalan biasa yang dengan mudahnya dapat dilewati. Ternyata bayanganku salah besar.

Perasaan ketika sudah merasa berjalan berpuluh puluh kilometer, dan ternyata baru 0,8 KM. Ditemani angin kencang, hujan gerimis sampai hujan besar, dengan perbekalan yang sangat minim. Belum setengah perjalanan aku merasa sangat kedinginan. Sangat dan sangat kedinginan. Aku meminta temanku untuk sejenak beristirahat, cuaca yang mendingin perlahan menemani tiap langkah demi langkah menuju Air Terjun, bebatuan untuk kaki berpijak yang sangat tidak memungkinkan untuk ditempuh menggunakan kenadaraan menjadikan tempat ini sulit untuk didaki dengan pandangan lurus ke depan. Perasaan waswas akan terjatuh menghantui setiap langkahku. Jalan becek yang menanjat dengan bebatuan ini tidak mudah untuk aku lewati. "Fir, masih kuat gak?" Pertanyaan itu ditanyakan oleh temanku setiap kali aku ingin terjatuh. Setiap langkah kututurkan asma' Allah.

Dan langkahku berhenti. nafasku seakan ingin berhenti pula, aku menangis di dalam diriku, kakiku terasa membeku dan berteriak bahwa ia tak sanggup untuk melangkah. Jantungku yang memastikanku tetap hidup terasa ingin membeku. Angin kencang yang bertiup seakan ingin meniup jiwaku pergi. Aku berhenti. Teman temanku ikut berhenti, aku sangat lemah, kulihat mereka yang melindungiku, aku tahu mereka kedinginan sepertiku, tapi mereka tak selemah diriku. Asma memberikan jaket hitam milik temanku Patria, aku bersikeras tidak ingin memakainya karena aku tahu ia akan kedinginan juga. Akhirnya aku menerima tawaran itu karena keadaanku yang seperti ini tidak membiarkanku untuk menolak tawarannya. Aku memakainya dengan membalutkan tubuhku dengan jaket itu agar lebih baik.

Perjalanan dilanjutkan dan tersisa 1,2 KM lagi. Perjalanan ini terasa sangat amat panjang. Aku yang sudah membaik memberikan kembali jaketnya pada Patria, dan jaket itu digunakan untuk membalut Kamera SLR Fajri yang memorinya sudah penuh dengan batrai habis. Benakku pun bertanya, mengapa ia membawa kamera yang batrainya habis dan memori penuh untuk ikut perjalanan ini? Ternyata, ia punya alasan, ia takut kameranya akan hilang jika diletakan di villa, dan aku tertawa geli dalam benakku mendengar alasannya. Sambil jalan, aku dituntun oleh Asma yang memegang tanganku, ia memegangku erat seakan tak ingin membiarkanku jatuh, aku terus berjalan dan berjalan.

Dan untuk ke 2 kalinya, aku merasakan itu. Perasaan hampir mati, aku kira aku memang mati, hujan yang turun tak henti membuat ragaku sejenak berhenti membeku, membeku. Aku membeku aku perlahan duduk di atas kayu. Aku berteriak ingin pulang dalam hati. Hidungku benar benar tak bisa bernafas, apakah udara juga membeku? Tanyaku dalam hati. Asma memberikan syal dan minyak kayu putihnya untukku, Aurel berusaha menghangatkan tanganku, Nuke memeluk erat tubuhku dan Ule menyodorkan minuman untukku. Asma memintaku mengganti Cardiganku yang basah dengan jaket hitam tebal milik Patria, aku mengelak dan akhirnya mengganti cardiganku yang basah dengan Jaket hitam tebal milik Patria. Keadaanku membaik setelah berganti jaket. Tanganku yang dingin ikut dibalut dengan jaket Syifa yang sudah terasa dingin karena cuaca. Benakku bertanya, Bagaimana nasib SLR Fajri tanpa jaket Patria? Entah. Lalu, berangsur aku bisa merasakan nafasku lagi. Dan melanjutkan perjalanan dengan genggaman tangan Asma. Perjalanan yang kurasakan tanpa ujung ini membuatku senang ketika melihat jembatan batang pohon semen rata dengan jarak 3 inchi per bagian muncul. Tapi aku salah, lagi lagi ini bukan ujungnya.

Setelah berjalan lagi, kami sampai di sebuah aliran sungai kecil yang airnya bisa diminum, dan airnya mengandung mineral, Telaga Biru. Kami berfoto sejenak disana, dan melanjutkan perjalanan kami. Deru suara air menjadi alasan kenapa kami semangat melanjutkan perjalanan kami. Namun, hujan pun datang dengan derasnya, kamipun memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah posko, menunggu huhan reda kami beristirahat, minun dan memakan perbekalan seadanya.

Roti sobek yang dibawa musnah dalam hitungan detik, adapun coklat penunda lapar dibagikan per gigitan, disini aku merasakan kalau kami memang keluarga. Setelah hujan mereda, kami melanjutkan perjalanan Beberapa saat, ada seorang pendaki yang turun dan berseru "Semangat, sebentar lagi!" Yang membuat kami lebih bersemangat.

Dijalan, hujan kembali datang, Aku, Asma dan Syifa tertinggal Rombongan, Syifa yang membawa Jas Hujan menawarkan jas hujannya untuk dipakai bersama. Akhirnya aku, Asma dan Syifa bertemu rombongan kembali. Di perjalanan Suara air terjun mulai terdengar, suara itu terasa memanggilku untuk berjalan lebih cepat lagi. Perlahan tapi pasti. Akhirnya kami sampai pada tujuan wisata yang sesungguhnya, Air Terjun Cibeureum. Atau biasa disebut curug Cibeureum.
Curug Cibereum terdiri dari air terjun utama Curug Cibeureum, dan dua air terjun lain yang lebih kecil, Curug Cidendeng dan Curug Cikundu. Mataku seakan ingin mengeluarkan air mata bahagia. Akhirnya, Akhirnya sampai juga. Sangat dingin dingin sekali.

Perjalanan melelahkan 2,8 KM yang kami tempuh terbayar sudah dengan pemandangan air terjun yang sangat menyejukkan. Air terjun itu memanggilku untuk mendekatinya, perlahan aku mendekati air terjun itu seorang diri. Belum sampai pada panggilanku, Ule memaksaku turun, aku tidak mau, namun karena kalah suit aku menurutinya untuk kembali duduk dan hanya melihat air terjun dari kejauhan. Aku melihat teman temanku menggigil kedinginan, beberapa ada yang membeli minuman untuk menghangatkan tubuh, beberapa ada yang selfie pula. Tazkia yang kedinginan memanggilku danemintaku untuk memeluknya, akupun memeluknya karena pelukan adalah obat dingin yang sesungguhnya.

Hujan turun dengan derasnya dan membuat udara dingin hingga mensuk tulang. Beberapa saat setelah kami cukup puas melihat air terjun, kami memutuskan untuk turun, dan kembali. Perjalanan pulangku dituntun oleh Amanah dan Tika, ketika aku sudah kembali fit, aku berjalan sendiri Amanah berjalan lebih dulu. Dan rombongan kamipun terpisah menjadi 2 bagian.
Rombongan pertama yang jalan lebih dulu adalah Syifa, Asma, Aurel, Keke, Yulia, Siti, Mega, Meina, Tazkia, Shidiq dan Olip. Dan sisanya Aku, Tika, Ule, Taul, Nuke, Sofi, Ojan, Fajri, Patria dan Fachri. 

Aku bersama rombonganku berjalan lama, sambil menikmati keindahan alam. Tragedi sendal Tika putuspun terjadi ketika hampir sampai bawah.
Sesampainya di bawah rombonganku berhenti untuk sejenak melepaskan pegal dan beberapa ada yang pergi ke toilet. Hujan pun datang lagi, dan kami memutuskan untuk berteduh sejenak. Saat berteduh kami mengulang kembali cerita horor tadi malam yang terjadi, betapa lucunya kejadian tadi malam hingga lantunan lelucon Fachri yang menggelitik perut bermunculan. Hujan pun reda, rombonganku pun melanjutkan perjalanan untuk sampai ke Gate Welcome Cibodas. (SKIP)

Sesampainya di Gate Cibodas, kami harus menunggu angkot yang telah kami sewa sebelumnya. Angkot kuning yang akan menghantarkan tujuan ke Villa kami tak kunjung datang. Hujan yang makin lama menderas membuat aku dan rombonganku kedinginan. Ternyata kami masih ditunggu oleh seorang teman kami, Senda. Entah kemana dan dimana ia sekarang, ia menunggu kami dan kami menunggunya. Sekitar 20 menit menunggu, akhirnya ada seorang supir angkot yang mengenali kami. Ternyata ia adalah supir angkot yang sudah dipesan dan meninggalkan kami karena terlalu lama menunggu dari jadwal perjanjian. Ia bilang ada seorang teman kami yang menunggu, tak ayal lagi itulah Senda. Kami dibawa ke tempat Senda berada sedari tadi. Setelah akhirnya bertemu Senda, rombongan kamipun pulang ke villa.


Diperjalanan menuju villa, kami semua kedinginan, dan sesampainya di villa kami bergegas untuk membersihkan diri. Rombongan 1 pun yang sudah sedaritadi datang masih mengantri kamar mandi.

Setelah selesai mandi, aku makan mie, dan setelahnya aku bergegas kekamar untuk merebahkan kakiku dikamar. Hari ini Sungguh perjalanan yang sangat panjang. Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang malam ini, bisakah?
Malam ini adalag malam terakhir aku bersama teman temanku di Puncak, 2 hari yang aku lewati sangatlah terasa begitu panjang bersama mereka. Malampun datang, sebelum tidur aku bercengkrama singkat dengan Syifa di Luar villa. 

Sekitar pukul 8 aku masuk kamar, dan merebahkan badanku. Suara kegaduhan Olip sama sekali tidak terdengar malam ini, dan kurasa malam ini malam tenangku, kurasa begitu. Sebelum akhirnya, aku terbangun dari tidur tenangku, aku melihat yang lain masih tertidur dan pintu kamar mandi yang terbuka, aku mulai menutup mataku lagi tapi kurasa ia tak mau menutup. Keke bangun, Amanah pun terbangun, kakiku yang sangat pegal ini terasa berteriak. Kulihat sekitar, dan aku baru menyadari bahwa banyak teman kamarku yang hilang. Mereka adalah Taul, Nuke, Asma, Mega, dan Ule. Keke dan Amanah yang terbangun kembali tertidur, beda halnya denganku yang tak bisa kembali tidur. 

Aku memutuskan pergi ke luar kamar untuk meminum air hangat, setelah itu kurasa toilet memanggilku, perlahan ku sentuh kaki Mega untuk memintanya menemaniku ke toilet, syukurlah ia mau dan menemaniku. Kutanya padanya pukul berapa sekarang, "sekarang masih jam 1 Fir" jawabnya. Pikirku sekarang sudah jam 4, ternyata aku salah. Aku ingin kembali ke kamar, lagi lagi aku takut karena pintu toilet yang tak bisa di tutup. Aku menunggu kantukku datang sambil duduk di ruang tamu. Disana aku melihat Asma, Ule, Miftahul, Nuke, Patria, Fachri dan Fajri yang sedang tertidur lelap. Mega kembali tidur dan aku masih tak bisa tidur, menunggu kantuk di sini kurasa lebih baik, kutaruh kepalaku di atas bangku dan kupejamkan mataku perlahan. 

Aku terbangun, dan melihat sekeliling. Tiba tiba lampu mati. Aku kaget dan sontak memanggil Ule yang berada di depanku. Namun, yang terbangun adalah Asma. "Asma, tadi mati lampu" kataku pelan, dan ia menjawab, "kemarin juga gitu fir" ia pun kembali melanjutkan tidurnya, aku meletakan kembali kepalaku dan menunggu kantuk datang di ruang tamu. Akhirnya kurasa aku harus kembali ke kamar dan memejamkan mata ditempat yang seharusnya, aku tertidur pulas hingga akhirnya aku terbangun kembali pukul 5.30 pagi. Disitulah malam terakhirku bersama teman temanku di puncak berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...